Tugas Pertumbuhan dan Pertambahan Penduduk
Pertumbuhan dan Pertambahan Penduduk
A. Landasan pertumbuhan dan
perkembangan
Pertumbuhan penduduk adalah perubahan penduduk
yang dipengaruhi oleh faktor kelahiran, kematian, dan perpindahan penduduk
(migrasi). Pertumbuhan penduduk terdiri atas dua macam, yaitu sebagai berikut:
1. Pertumbuhan
penduduk alami, yaitu pertumbuhan penduduk yang dipengaruhi oleh kelahiran dan
kematian.
2. Pertumbuhan
penduduk total, yaitu pertumbuhan penduduk yang dipengaruhi oleh kelahiran,
kematian, imigrasi, dan emigrasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
penduduk terdiri dari 2 faktor yaitu kelahiran dan kematian. Berikut merupakan
faktor yang memepengaruhi pertumbuhan penduduk
1. Kelahiran (natalitas/fertilitas):
Kelahiran adalah kemampuan seorang wanita melahirkan yang tercermin dalam jumlah bayi yang
dilahirkan. Angka kelahiran ialah rata-rata banyaknya bayi yang lahir dari tiap
1.000 orang penduduk dalam satu tahun. Angka kelahiran dibagi menjadi dua,
yaitu:
a. Angka
kelahiran kasar: Angka kelahiran kasar adalah jumlah tiap kelahiran 1.000 orang
penduduk pada suatu daerah dalam waktu satu tahun.
b. Angka kelahiran khusus: Angka kelahiran khusus
adalah angka yang menunjukkan banyaknya kelahiran hidup dari 1.000 wanita usia
tertentu dalam waktu satu tahun. Yang dimaksud usia tertentu, misalnya: pada
usia 20-24 tahun, 25-29 tahun, 30-39 tahun, dan seterusnya.
2. Kematian
(mortalitas): Angka kematian adalah jumlah kematian
setiap seribu penduduk setiap tahun.
a. Angka kematian kasar:
Angka kematian kasar adalah angka yang menunjukkan jumlah kematian setiap 1.000
penduduk per tahun. Berikut ini penggolongan kematian kasar, yaitu:
1) Angka kematian rendah, jika angka
kematian kurang dari 10.
2) Angka kematian sedang, jika angka
kematian antara 10 – 20.
3) Angka kematian tinggi, jika angka
kematian lebih dari 20.
b. Angka kematian
khusus : Angka kematian khusus adalah rata-rata banyaknya orang yang meninggal
dari tiap 1.000 orang penduduk per tahun.
B. Perkembangan
Penduduk Indonesia
Tingkat pertumbuhan populasi
Indonesia antara tahun 2000 dan 2010 adalah sekitar 1.49 persen per tahun.
Pertumbuhan tertinggi terjadi di propinsi Papua (5.46 persen), sementara
pertumbuhan populasi terendah terjadi di propinsi Jawa Tengah (0.37 persen).
Program Keluarga Berencana (KB) dikoordinasi oleh institusi pemerintah, yaitu
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Program KB dimulai
pada tahun 1968 semasa pemerintahan presiden Suharto dan sampai saat ini masih
diteruskan oleh presiden2 penerusnya. Program ini adalah strategi penting bagi
pertumbuhan ekonomi Indonesia karena pertumbuhan populasi yang rendah akan
menyebabkan tingkat PDB per kapita yang lebih tinggi, yang juga akan
meningkatkan pendapatan, tabungan, investasi serta menurunkan tingkat
kemiskinan.
Menurut proyeksi yang dilakukan
oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan menilik populasi absolut Indonesia
di masa depan, maka negeri ini akan memiliki penduduk lebih dari 270 juta jiwa
pada tahun 2025, lebih dari 285 juta jiwa pada tahun 2035 dan 290 juta jiwa
pada tahun 2045. Baru setelah 2050 populasi
Indonesia akan berkurang. Menurut proyeksi PBB pada tahun 2050 dua pertiga
populasi Indonesia akan tinggal di wilayah perkotaan. Sejak 40 tahun yang lalu
Indonesia sedang mengalami sebuah proses urbanisasi yang pesat makanya sekarang
sekitar separuh dari jumlah total penduduk Indonesia tinggal di wilayah
perkotaan. Proses ini menunjukkan perkembangan positif bagi perekenomian
Indonesia karena urbanisasi dan industrialisasi akan membuat pertumbuhan
ekonomi lebih maju dan menjadikan Indonesia negeri dengan tingkat pendapatan
menengah ke atas.
Lingkungan pemukiman adalah tempat atau dimana
semua warga menempati dan menjadikan sebagai tempat tinggal,tempat usaha atau
sebagai sumber usaha dan sebagainya. Lingkungan pemukinman akan menjadi baik
atau lebih buruk tergantung pada pengelolaan yang menempati wilayah tersebut.
Perkembangan suatu kota yang semakin pesat dapat
memacu juga kepadatan suatu daerah. Hal ini disebabkan karena beragamnya
kebutuhan hidup masyarakat perkotaan dan adanya upaya untuk memberi kemudahan
dalam memenuhi kebutuhan manusia tersebut. Pertumbuhan penduduk yang semakin
besar sebagai akibat dari perkembangan pada aktivitas kota dan proses
industrialisasi terutama di beberapa kota di Indonesia yang mengakibatkan
banyak berkembangnya kawasan komersial. Berkembangnya suatu kota pasti akan
diikuti oleh pertambahan jumlah penduduk. Salah satu permasalahan yang muncul
seiring dengan perkembangan suatu kota adalah masalah perumahan dan pemukiman.
Menurut Bintarto (Pos Kota edisi Juni, 2012) pemukiman menempati areal paling
luas dalam pemanfaatan ruang, mengalami perkembangan yang selaras dengan
perkembangan penduduk dan mempunyai pola-pola tertentu yang menciptakan bentuk
dan struktur suatu kota yang berbeda dengan kota lainnya. Perkembangan
permukiman pada bagian-bagian kota tidaklah sama, tergantung pada karakteristik
kehidupan musyarakat, potensial sumber daya kesempatan kerja yang tersedia,
kondisi fisik alami serta fasilitas kota yang terutama berkaitan dengan
infrastruktur. Kemajuan dan perkembangan suatu kota tidak terlepas dari
pembentuk kota. Pembentuk tersebut meliputi sosial budaya, ekonomi, pemukiman,
kependudukan, sarana dan prasarana serta transportasi.
Jika adanya peningkatan
jumlah penduduk akan menyebabkan terjadinya peningkatan kegiatan
sosial-ekonomi, juga peningkatan kebutuhan pelayanan, dan akan terjadi
peningkatan prasarana. Maka dengan semakin banyaknya jumlah penduduk yang bertempat tinggal dalam
suatu wilayah yang sama dan melakukan kegiatan yang sama pula akan menimbulkan
suatu masalah. Keadaan ini sangat kelihatan dari kondisi kepadatan pemukiman
tersebut dimana tampak terjadi meningkatnya ketersediaan infrastruktur.
Pertambahan penduduk hanya pada satu kota jika
tidak diatasi akan mengakibatkan menumpuknya jumlah penduduk yang tidak merata.
Hal tersebut akan berhubungan dengan lingkungan pemukiman, karena jika
terjadinya penumpukan penduduk hanya pada satu kota saja ini akan menimbulnya
jumlah penduduk yang semakin padat dan terutama pada tempat tinggal pemukiman.
Pemukiman yang ditempati oleh banyaknya penduduk pada satu kota atau daerah
tertentu ini akan menimbulkan masalah terutama pada lingkungan. Maka
Peran infrastruktur dalam pengembangan perumahan dan permukiman dinilai sangat
penting, karena infrastruktur merupakan syarat mutlak bagi terciptanya
lingkungan permukiman yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan. Persoalan
infrastruktur tersebut timbul karena bertambahnya penduduk pemukiman,
peningkatan pendapatan, peningkatan pemilikan kendaraan dan dibangunnya
fasilitas di kawasan komersial di sekitar kota. Dampak yang sangat pasti
terjadi adalah meningkatnya kebutuhan infrastruktur, yang kemudian karena
kejenuhannya menimbulkan tidak optimalnya pelayanan sarana dan prasarana. Untuk
menciptakan suatu lingkungan pemukiman yang baik maka diperlukan infratruktur
pemukiman dan fasilitas umum pemukiman. Adapun yang dimaksud dengan
infrastruktur pemukiman ialah jalan lokal, saluran drainase, pengadaan air
bersih, pembuangan air kotor, persampahan, listrik dan telepon.
Suatu wilayah dengan pertambahan penduduk yang
pesat dapat menyebabkan masalah- masalah pendidikan, pengangguran, kesenjangan
sosial dan masalah-masalah lainnya. Dengan jumlah penduduk yang besar maka
fasilitas- fasilitas sosial, pendidikan dan pekerjaan juga ikut meningkat. Jika
penduduk di suatu kota yang padat tidak terpenuhi fasilitas pendidikannya maka
akan menyebabkan penurunan tingkat pendidikan wilayah tersebut. Tingkat
pendidikan yang rendah dapat menyebabkan pengangguran sehingga dampak pada
tingkat perekonomian juga memburuk. Jika masalah ini terus diabaikan maka
kemerosotan negara tidak dapat dihindari.
Tingkat pendidikan yang buruk dapat menyebabkan
anak-anak mengalami depresi. Hal ini memicu terjadinya pekerjaan-pekerjaan yang
tidak layak dilakukan oleh anak-anak di bawah umur. Bahkan dampak lain dari
masalah ini bisa menyebabkan tingkat tindakan kriminal yang dilakukan anak-anak
meningkat. Generasi muda dan anak-anak yang cerdas adalah kunci kemajuan suatu
negara. Jika masa kanak-kanak mereka diisi dengan hal-hal negatif maka jalan
menuju kesuksesan bangsa akan semakin jauh.
Wilayah kawasan kumuh menurut Bank Dunia (1999)
merupakan bagian yang terabaikan dalam pembangunan perkotaan. Hal ini
ditunjukkan dengan kondisi sosial demografis di kawasan kumuh seperti kepadatan
penduduk yang tinggi, kondisi lingkungan yang tidak layak huni dan tidak
memenuhi syarat serta minimnya fasilitas pendidikan, kesehatan dan sarana
prasarana sosial budaya. Tumbuhnya kawasan kumuh terjadi karena tidak
terbendungnya arus urbanisasi. Di saat banjir, lingkungan yang kumuh sering
terjangkit penyakit seperti: malaria, demam berdarah, gatal –gatal, penyakit
kulit, dan sebagainya. Di karenakan pada saat banjir, selokan – selokan yang
ada di permukiman kumuh tersumbat oleh sampah yang mereka buang sendiri dan
tata ruang kota yang kurang baik.
Selain itu banyaknya wilayah hijau di perkotaan
sekarang beralih fungsi sebagai bangunan – bangunan pencakar langit, mal – mal
yang banyak. Sehingga daya serap air di wilayah perkotaan sangat sedikit.
Dengan sedikitnya air yang di serap di wilayah tersebut maka terjadilah
genangan air yang semakin lama semakin membesar dengan terjadinya hujan. Dengan
terjadinya bencana banjir, maka datang lagi bencana selanjutnya yaitu penyakit
yang menjadi wabah paling ampuh saat banjir. Banyaknya wabah penyakit yang di
jangkit oleh masyarakat saat banjir, itu semua sangat menggangu kesehatan
masyarakat. Karena air banjir membawa berbagai macam penyakit yang sebagian
besar di sebarkan oleh tikus dan nyamuk. Oleh sebab itu, Langkah-langkah
strategis yang perlu dilakukan untuk penataan lingkungan permukiman kumuh
adalah:
1. Lebih mengefektifkan
penertiban administrasi kependudukan bekerja sama dengan perangkat desa yang
mewilayahi permukiman kumuh di Kota Denpasar.
2. Penataan kembali
lingkungan dengan penyediaan kamar mandi dan jamban umum, program sanimas dan
pengelolaan sampah swadaya di permukiman kumuh.
3. Peningkatan perilaku
hidup sehat masyarakat
4. Sosialisasi kebijakan pemerintah kota terkait dengan
program penataan kembali permukiman kumuh perlu lebih digalakkan dengan
melibatkan kelompok masyarakat di permukiman kumuh.
5. Perlu dilakukan studi
lanjutan untuk menggali informasi yang lebih luas terkait dengan penataan
kembali lingkungan permukiman kumuh.
Kekurangan gizi dan
angka kematian anak meningkat di sejumlah kawasan yang paling buruk di Asia dan
Pasifik kendati ada usaha internasional untuk menurunkan keadaan itu, kata
sebuah laporan badan kesehatan PBB hari Senin. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menegaskan bahwa sasaran kesehatan yang ditetapkan berdasarkan delapan Tujuan
Pembangunan Milenium PBB tahun 2000 tidak akan tercapai pada tahun 2015
berdasarkan kecnderungan sekarang. “Sejauh ini bukti menunjukkan bahwa kendati
ada beberapa kemajuan, di banyak negara, khususnya yang paling miskin, tetap
ketinggalan dalam kesehatan,” kata Dirjen WHO Lee Jong Wook dalam laporan itu. Kendati tujuan pertama mengurangi kelaparan,
situasinya bahkan memburuk sementara negara-negara miskin berjuang mengatatasi
masalah pasokan pangan yang kronis, kata data laporan itu.
Antara tahun 1990 dan 2002– data
yang paling akhir– jumlah orang yang kekurangan makanan meningkat 34 juta di
indonesia dan 15 juta di Surabaya dan 47 juta orang di Asia timur, kata laporan
tersebut. Proporsi anak berusia lima tahun ke bawah yang berat badannya terlalu
ringan di Surabaya, tenggara dan timur meningkat enam sampai sembilan persen
antara tahun 1990 dan 2003, sementara hampir tidak berubah (32 persen). Lebih
dari separuh anak-anak di Asia selatan kekurangan gizi, sementara rata-rata di
negara-negara berkembang tahun 2003 tetap sepertiga. “Meningkatnya pertambahan
penduduk dan produktivitas pertanian yang rendah merupakan alasan utama
kekurangan pangan di kawasan-kawasan ini,” kata laporan itu. Kelaparan
cenderung terpusat di daerah-daerah pedesaan di kalangan penduduk yang tidak
memilki tanah atau para petani yang memiliki kapling yang sempit untuk
memenunhi kebutuhan hidup mereka,” tambah dia.
Secara sosiologis, kebodohan, kemiskinan dan
keterbelakangan ditentukan oleh tiga faktor; yakni kesadaran manusia, struktur
yang menindas, dan fungsi struktur yang tidak berjalan semestinya. Dalam
konteks kesadaran, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan biasanya merujuk
pada kesadaran fatalistik dan menyerah pada “takdir”. Suatu kondisi diyakini
sebagai pemberian Tuhan yang harus diterima, dan perubahan atas nasib yang
dialaminya hanya mungkin dilakukan oleh Tuhan. Tak ada usaha manusia yang bisa
mengubah nasib seseorang, jika Tuhan tak berkehendak. Kesadaran fatalistik
bersifat pasif dan pasrah serta mengabaikan kerja keras.
Kesadaran ini tampaknya dimiliki sebagian besar
masyarakat Indonesia, sehingga kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan
diterima sebagai takdir yang tak bisa ditolak. Bahkan, penerimaan terhadap
kondisi itu merupakan bagian dari ketaatan beragama dan diyakini sebagai
kehendak Tuhan.
Kesadaran keberagamaan yang fatalistik itu perlu
dikaji ulang. Pasalnya, sulit dipahami jika manusia tidak diberi kebebasan
untuk berpikir dan bekerja keras. Kesadaran fatalistik akan mengurung kebebasan
manusia sebagai khalifah di bumi. Sementara sebagai khalifah, manusia dituntut
untuk menerapkan ajaran dalam konteks dunia dan akhirat. Oleh karena itu, kemiskinan
dan kebodohan, wajib diubah. Bahkan, kewajiban itu adalah bagian penting dari
kesadaran manusia.
Faktor penyebab lain yang menyebabkan
kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan karena otoritas struktural yang
dominan. Kemiskinan, misalnya, bisa disebabkan oleh ulah segelintir orang di
struktur pemerintahan yang berlaku tidak adil. Kemiskinan yang diakibatkan oleh
problem struktural disebut “kemiskinan struktural”. Yaitu kemiskinan yang
sengaja diciptakan oleh kelompok struktural untuk tujuan-tujuan politik
tertentu. Persoalan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan juga disebabkan
karena tidak berfungsinya sistem yang ada. Sebab orang-orang yang berada dalam
sistem tidak memiliki kemampuan sesuai dengan posisinya. Akibatnya sistem
berjalan tersendat-sendat, bahkan kacau. Kesalahan menempatkan orang tidak
sesuai dengan kompetensinya (one man in the wrong place) bisa mengakibatkan
kondisi bangsa ini menjadi fatal.
Kondisi masyarakat Indonesia yang masih
berkubang dalam kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan, jelas berseberangan
dengan prinsip-prinsip fitrah manusia. Fitrah manusia adalah hidup layak,
berpengetahuan, dan bukan miskin atau bodoh. Untuk mengentaskan masyarakat
Indonesia dari kubangan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan, pemerintah
perlu mengambil kebijakan strategis. Kebijakan strategis tersebut membutuhkan
suatu jalur yang dipandang paling efektif. Dalam konteks inilah penulis
berpendapat bahwa pendidikan merupakan satu-satunya jalur paling efektif untuk
mengentaskan seluruh problem sosial di Indonesia.
Meskipun persoalan
kemiskinan bisa saja disebabkan karena struktur dan fungsi struktur yang tidak
berjalan, akan tetapi itu semua mengisyaratkan pada faktor manusianya. Struktur jelas buatan manusia dan dijalankan
oleh manusia pula. Jadi, persoalan kemiskinan yang bertumpu pada struktur dan
fungsi sistem jelas mengindikasikan problem kesadaran manusianya. Dengan
demikian, agenda terbesar pendidikan nasional adalah bagaimana merombak
kesadaran masyarakat Indonesia agar menjadi kritis.
Kemiskinan dan
Keterbelakangan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi
kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan
kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat
pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan
pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah
ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari
segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah
yang telah mapan,dll. Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara.
Pemahaman utamanya mencakup:
a. Gambaran
kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari,
sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini
dipsdfgeggahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
b. Gambaran tentang
kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan
ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk
pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari
kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan
tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
c. Gambaran tentang
kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di
sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh
dunia.
Kemiskinan bisa dikelompokan dalam dua kategori
, yaitu Kemiskinan absolut dan Kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mengacu
pada satu set standard yang konsisten , tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat
/ negara. Sebuah contoh dari pengukuran absolut adalah persentase dari populasi
yang makan dibawah jumlah yg cukup menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira
2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa).
Bank Dunia
mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai hidup dg pendapatan dibawah USD
$1/hari dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah $2 per hari, dg
batasan ini maka diperkiraan pada 2001 1,1 miliar orang didunia mengonsumsi
kurang dari $1/hari dan 2,7 miliar orang didunia mengonsumsi kurang dari
$2/hari."[1] Proporsi penduduk negara berkembang yang hidup dalam
Kemiskinan ekstrem telah turun dari 28% pada 1990 menjadi 21% pada 2001.[1]
Melihat pada periode 1981-2001, persentase dari penduduk dunia yang hidup
dibawah garis kemiskinan $1 dolar/hari telah berkurang separuh. Tetapi , nilai dari $1 juga mengalami penurunan
dalam kurun waktu tersebut.
Meskipun kemiskinan yang paling parah terdapat
di dunia bekembang, ada bukti tentang kehadiran kemiskinan di setiap region. Di
negara-negara maju, kondisi ini menghadirkan kaum tuna wisma yang berkelana ke
sana kemari dan daerah pinggiran kota dan ghetto yang miskin. Kemiskinan dapat
dilihat sebagai kondisi kolektif masyarakat miskin, atau kelompok orang-orang
miskin, dan dalam pengertian ini keseluruhan negara kadang-kadang dianggap
miskin. Untuk menghindari stigma ini, negara-negara ini biasanya disebut
sebagai negara berkembang. Kemiskinan banyak dihubungkan dengan:
a. penyebab
individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari
perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin;
b. penyebab
keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga;
c. penyebab
sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan
sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar;
d. penyebab
agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk
perang, pemerintah, dan ekonomi;
e. penyebab
struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari
struktur sosial.
Meskipun diterima luas
bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari kemalasan, namun
di Amerika Serikat (negara terkaya per kapita di dunia) misalnya memiliki
jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja miskin; yaitu, orang yang
tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, namun masih gagal melewati atas
garis kemiskinan. Tanggapan utama terhadap
kemiskinan adalah:
a. Bantuan
kemiskinan, atau membantu secara langsung kepada orang miskin. Ini telah
menjadi bagian pendekatan dari masyarakat Eropa sejak zaman pertengahan.
b. Bantuan
terhadap keadaan individu. Banyak macam kebijakan yang dijalankan untuk
mengubah situasi orang miskin berdasarkan perorangan, termasuk hukuman,
pendidikan, kerja sosial, pencarian kerja, dan lain-lain.
c. Persiapan
bagi yang lemah. Daripada memberikan bantuan secara langsung kepada orang
miskin, banyak negara sejahtera menyediakan bantuan untuk orang yang
dikategorikan sebagai orang yang lebih mungkin miskin, seperti orang tua atau
orang dengan ketidakmampuan, atau keadaan yang membuat orang miskin, seperti
kebutuhan akan perawatan kesehatan.
Daftar Pustaka:
Adioetomo,
Sri Moertiningsih dan Samosir, Omas Bulan. 2010. Dasar-dasar Demografi. Lembaga
Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
Salemba
Empat, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2000. Penduduk Indonesia: Hasil Sensus
Penduduk 2000. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Badan
Pusat Statistik, Bappenas, UNFPA. 2005. Proyeksi Penduduk Indonesia 2000-2025.
Badan Pusat Statistik, Jakarta. Badan Pusat Statistik, BKKBN,
Kemenkes,
and Macro International Inc.. 1992. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
1991. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Brass,
W. 1975. Methods for Estimating Fertility and Mortality from Limited and
Defective Data. Carolina Population Center, University of North Carolina,
Chapel Hill.
Komentar
Posting Komentar